Siapa sangka di lereng Gunung Cibeas ini terdapat sebuah kompleks perkampungan unik yang tak banyak diketahui khalayak. Perkampungan yang terdiri dari rumah-rumah berarsitektur aneh berbahan baku kayu ini dirintis oleh seorang tokoh bernama Khut Pangrango. Sang tokoh yang selalu berpenampilan seperti Bung Karno ini disebut-sebut sebagai titisan Sang Proklamator.
Warga di lereng Gunung Cibeas menyebutnya Eyang Khut Pangrango. Dialah pendiri perkampungan di sana. Tak mudah menemui tokoh yang satu ini. Padahal, padepokan dan perkampungan yang dibangun bersama pengikut-pengikutnya itu telah berdiri permanen. Kini perkampungan ini telah berubah menjadi satu perkampungan yang lumayan ramai. Denyut nadi kehidupan masyarakat tampak menggeliat. Sumber mata pencaharian mereka kebanyakan berladang atau menjadi buruh.
Di bawah ‘asuhan’ Khut Pangrango, kampung ini menjelma menjadi semacam Negara kecil yang tertib dan ramah. Ada semacam tatanan kehidupan yang rapi. Tidak heran bila orang-orang amat menghormati Khut Pangrango layaknya pemimpin suku. Padahal, warga di sana terdiri dari beragam suku dan berasal dari berbagai daerah di tanah air. Khut Pangrango berhasil mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan kebersamaan dan cita-cita. Yakni melakoni kehidupan bermasyarakat yang rukun, damai dan sejahtera
Seribu Pintu
Padepokan Cibeas berada di lereng Gunung Cibeas. Ia tak jauh dari pesisir pantai selatan Sukabumi dan hanya berjarak 10 km dari Palabuhan Ratu. Hanya saja, menjangkau padepokan ini terbilang sulit. Medan tempuhnya sangat merepotkan dengan akses jalan berbatu dan harus menyusuri pesisir laut selatan. Selain berjalan kaki, lokasi padepokan Cibeas bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat atau roda dua. Tapi tentunya harus dengan susah payah.
Beberapa bangunan inti padepokan ini memiliki kontruksi yang unik. Bahkan bisa dibilang aneh. Selain itu, selebihnya adalah rumah-rumah warga yang bentuknya tak berbeda dengan rumah kebanyakan. Dari kejauhan, padepokan Cibeas sudah terlihat menonjol. Terutama karena bentuk dan konstruksinya yang tidak lazim. Di kompleks padepokan ini terdapat masjid seribu pintu.
Di sebut seribu pintu karena selain memiliki banyak pintu, bagian dinding masjid itu terdiri susunan pintu-pintu yang dibisa dibongkar pasang. Di masjid inilah biasanya Khut Pangrango mengadakan rapat-rapat atau pertemuan dengan warga. Selain masjid seribu pintu yang unik, ada bangunan lain yang berbentuk perahu. Entah apa landasan ide Khut Pangrango membangun rumah berbentuk perahu ini.
Bila tamu atau pengunjung padepokan ini melihat bentuk fisiknya, sepintas akan terbayang kisah bagaimana Nabi Nuh dengan umatnya membuat perahu di atas gunung. Agaknya, kisah Nabi Nuh itu pula yang menginspirasi pembuatan rumah perahu ini. “Biasanya Bapak (Khut Pangrango, red) sering menggunakan rumah perahu ini untuk menerima tamu-tamunya,” tutur ustad Nur Hasan, penjaga dan perawat rumah perahu,
Di bagian depan di dalam rumah perahu, terbentang sehelai bendera merah putih.
Menurut ustad Nur Hasan, bendera merah putih merupakan manifestasi dari simbol-simbol yang amat diyakini oleh Bapak Khut Pangrango. Merah putih menggambarkan tubuh manusia yang berasal dari darah merah dan darah putih. Darah merah dari ibu dan darah putih dari bapak. “Selain itu, tentu saja merah putih adalah perlambang keberanian dan kesucian,” kata Nur Hasan.
Selain rumah perahu, keunikan bentuk bangunan di padepokan ini juga ada. Yakni sebuah bangunan yang konstruksinya berbentuk memanjang dan memiliki empat penjuru. Tiap penjuru terdapat menara kecil bertingkat tiga yang setiap puncaknya diberi kuncup-kuncup bunga. Dan di bagian tengah terdapat satu lagi menara yang dimaksudkan sebagai titik pusat bangunan tersebut.
Seperti dituturkan ustad Nurhasan, bangunan itu merefleksikan kiblat papat lima pancer. Adapun tingkat tiga merefleksikan gambaran bahwa manusia itu tertidi dari tiga bagian. Pertama disebut Soko Guru (bagian kaki). Bagian tengah disebut Ario Guru (perut), dan bagian atas disebut Bathara Guru.
Titisan BK
Lantas, siapa sebenarnya Khut Pangrango, yang juga disebut-sebut sebagai pemimpin sejarah itu? Ia adalah seorang pria kelahiran Bogor, tanggal 6 bulan 6 atau persis sama dengan tanggal kelahiran Bung Karno, proklamator kemerdekaan RI. Bagi masyarakat di sekitar padepokan Cibeas, sosok Khut Pangrango bagaikan pemimpin tertinggi. Ia amat dihormati dan disegani. Apalagi, penampilan tokoh yang kerap disapa Bapak atau Eyang ini mirip dengan Bung Karno.
Banyak warga Cibeas yang meyakini bila Khut Pangrango adalah titisan Bung Karno yang sesungguhnya. Salah seorang pengikut Khut Pangrango, Tri Mulyanto, warga Jakarta, menuturkan Khut Pangrango adalah sosok yang pantas dijadikan panutan. Sangat wajar bila warga meyakini sebagai titisan Bung Karno. “Kalau kita sedang berkumpul, Bapak sering menyampaikan petuah-petuah yang berharga untuk hidup dan kehidupan. Bapak juga fasih mengulas tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” tutur Tri, yang setiap tiga bulan mendatangi padepokan tersebut.
Hanya saja, menurut Tri, tidak gampang menemui Bapak kalau tidak janjian terlebih dulu. Biasanya para pengikut Khut Pangrango akan berkumpul pada waktu-waktu tertentu di suatu tempat. Bisa saja di Garut, Bogor, Bandung, di Jawa Tengah, Jawa Timur atau di Padepokan Cibeas. “Makanya jangan heran kalau banyak tamu-tamu yang kesulitan menemui Bapak di padepokan ini. Sebab Bapak jarang ke sini,” ujarnya.
Namun, Khut Pangrango bisa dipastikan selalu datang ke padepokan Cibeas setiap tanggal 6 Juni atau bertepatan dengan hari kelahirannya, yang juga hari kelahiran Bung Karno. Ketika itulah Khut Pangrango menyampaikan pidato dan petuahnya kepada warga masyarakat dan pengikutnya. Sehari-harinya, Khut Pangrango aktif keliling daerah untuk melihat rakyat dari dekat. Maka jangan heran bila ia memiliki banyak padepokan di berbagai tempat. “Jadi padepokan Bapak itu bukan hanya di Cibeas ini,” ungkap Tri kepada penuli.